Senin, 27 April 2009

LINE COMMUNITY ALWAYS BE ATTENTION


line community selalu peduli sesama manusia
line mengucapkan selamat buat adik2 di SMA NEGERI 1 SUMBERREJO SEMOGA SUKSES DALAM UJIAN NASIONALNYA

TUGAS KDK 1( PAYUNG HUKUM BAGI PROFESI PERAWAT )

PAYUNG HUKUM BAGI PROFESI PERAWAT
PAYUNG HUKUM BAGI PROFESI PERAWAT

STIKES MUHAMMADIYAH LAMONGAN ( STIKESMUHLA )
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Hampir dua dekade profesi perawat Indonesia mengkampanyekan perubahan paradigma. Pekerjaan perawat yang semula vokasional digeser menjadi pekerjaan profesional. Perawat berfungsi sebagai perpanjangan tangan dokter, kini berupaya menjadi mitra sejajar dokter sebagaimana para perawat di negara maju. Wacana tentang perubahan paradigma keperawatan bermula dari Lokakarya Nasional Keperawatan I tahun 1983, dalam pertemuan itu disepakati bahwa keperawatan adalah pelayanan profesional.

Mengikuti perkembangan keperawatan dunia, perawat menginginkan perubahan mendasar dalam kegiatan profesinya. Dulu membantu pelaksanaan tugas dokter, menjadi bagian dari upaya mencapai tujuan asuhan medis, kini mereka menginginkan pelayanan keperawatan mandiri sebagai upaya mencapai tujuan asuhan keperawatan. Tuntutan perubahan paradigma ini tentu mengubah sebagian besar bentuk hubungan perawat dengan manajemen organisasi tempat kerja. Jika praktik keperawatan dilihat sebagai praktik profesi, maka harus ada otoritas atau kewenangan, ada kejelasan batasan, siapa melakukan apa. Karena diberi kewenangan maka perawat bisa digugat, perawat harus bertanggung jawab terhadap tiap keputusan dan tindakan yang dilakukan.

Tuntutan perubahan paradigma tersebut tidak mencerminkan kondisi dilapangan yang sebenarnya, hal ini dibuktikan banyak perawat di berbagai daerah mengeluhkan mengenai semaraknya razia terhadap praktik perawat sejak pemberlakuan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Pelayanan keperawatan diberbagai rumah sakit belum mencerminkan praktik pelayanan profesional. Metoda pemberian asuhan keperawatan yang dilaksanakan belum sepenuhnya berorientasi pada upaya pemenuhan kebutuhan klien, melainkan lebih berorientasi pada pelaksanaan tugas rutin seorang perawat (gizi-net.org. 2002). Bukti lain (Sutoto, 2006) berdasar penelitian Fakultas Kesehatan Masyarakat UI di dua Puskesmas kota dan desa, 92% perawat melakukan diagnosis medis dan 93% membuat resep. ''Hasil penelitian itu menunjukkan betapa besar peran perawat di masyarakat, namun tidak diakui.”

Keluarnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan pemerintah Nomor 32 tahun 2001 tentang Tenaga kesehatan, serta Surat Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1239 tahun 2001 tentang registrasi dan praktik perawat lebih mengukuhkan perawat sebagai profesi di Indonesia, kewenangan perawat dalam menjalankan tugas profesi diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan tersebut sehingga perawat mempunyai legitimasi dalam menjalankan praktik profesinya. Walaupun belum diterbitkan Peraturan Pemerintah tentang profesi perawat yang memberikan batasan wewenang pekerjaan dari perawat profesional.

Seorang perawat harus menyadari bahwa terbitnya Kepmenkes RI Nomor 1239 tahun 2001 bukan merupakan keberhasilan perawat sebagai tenaga profesional secara otomatis, tetapi harus menjadikan motivasi bagi tenaga perawat untuk meningkatkan kompetensi, tanggung jawab serta tanggung gugat.

















1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Perlunya dibuat payung hukum bagi profesi perawat
2. Perawat minta payung hukum tindakan anestesia
3. Perawat harus didampingi dokter dalam melakukan anastesi
4. Program rekrutmen berdasarkan formalitas
5. Perawat Indonesia tidak bisa bersaing
6. Profesi perawat antara harapan, tuntutan dan kenyataan
7. Landasan hukum profesi perawat

1.3 TUJUAN
1.3.1 Tujuan Umum
- Untuk mengetahui sampai mana kepedulian pemerintah pada Profesi Perawat.
- Meminta perlindungan hukum yang jelas tentang Profesi Perawat pada pemerintah.

1.3.2 Tujuan Khusus
- Mengubah persepsi masyarakat terhadap Profesi Perawat.
- Mengungkap perlindungan hukum bagi Profesi Perawat.
- Dapat terbentuknya perawat yang profesional, bertanggung jawab dan mampu bersaing dalam dunia internasional.










BAB 2
PAYUNG HUKUM BAGI PROFESI PERAWAT

Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu senantiasa berhubungan dengan manusia lain dalam masyarakat, senantiasa diatur diantaranya :
 Norma agama
 Norma etik
 Norma hukum
Ketiga norma tersebut khususnya norma hukum dibutuhkan untuk menciptakan ketertipan, ketentraman, dan pada akhirnya perdamaian dalam kehidupan, diharapkan kepentingan manusia dapat terpenuhi.

2.1 Perlu Dibuat Payung Hukum Bagi Profesi Perawat

Kesehatan sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan, papan, dan pendidikan, perlu diatur dengan berbagai piranti hukum sebab pengembangan di bidang kesehatan diperlukan tiga faktor :
1. perlunya perawatan kesehatan diatur dengan langkah-langkah tindakan kongkrit dari pemerintah.
2. perlunya pengaturan hukum dilingkungan sistem perawatan kesehatan.
3. Perlunya kejelasan yang membatasi antara perawatan kesehatan dengan tindakan tertentu.
Ketiga faktor tersebut memerlukan piranti hukum untuk melindungi pemberi dan penerima jasa kesehatan agar ada kepastian hukum dalam melaksanakan tugas profesinya. Dalam pelayanan kesehatan (yan-kes). Pada dasarnya merupakan hubungan “unik” karena hubungan tersebut bersifat interpersonal, oleh karena itu tidak saja diatur oleh hukum tetapi juga oleh etika dan moral. Didalam konteks ini, saya mencoba memberikan pemahaman kepada kawan-kawan perawat tentang arti penting peraturan hukum dibidang kesehatan dalam melaksanakan tugas pelayanan kesehatan.
Ketua PPNI Sulteng, Masudin Raja Ssi Msi, menyatakan ada beberapa kewenangan yang selama ini sudah sering dilakoni dan lumrah dilakukan oleh perawat. Namun pada hal tugas tersebut bukan merupakan kewenanggan perawat, tetapi tugas yang mesti yang dilakukan oleh tenaga kesehatan lain. Akibatnya, ketika terjadi masalah kemudian hari, maka perawat yang bersangkutan pasti akan susah, karena melakukan tugas yang bukan merupakan tupoksinya. Olehnya, perawat secara menyeluruh butuh payung hukum dalam rangka melindungi perawat saat menjalani profesi. “Katanya”, diakuinya, bahwa saat ini sudah ada undang-undang khusus kesehatan, termasuk didalamnya mengatur tentang tugas serta wewenang yang diemban seluruh Nakes. Namun kata staf dosen di Poltekes Depkes Palu ini, perawat masih butuh perlindungan hukum. “Salah satu fakta yang masih sering ditemukan adanya perawat yang melampaui kewenanganya, adanya perawat yang berpraktek di Poliklinik ini masih ditemukan, khususnya di puskesmas yang berada di wilayah terpencil. Ini melanggar kewenangan, karena yang berwenang melakukan diagnosa mengeluarkan resep adalah dokter. Walaupun kadang katanya, kondisi yang mengharuskan perawat yang melakukan inisiatif demikian, namun pengambilan wewenang tersebut, akan sangat fatal, jika ternyata di kemudian hari, terjadi masalah. Banyak masalah yang komplek, teman-teman perawat, biasanya beralasan terpaksa melakukan kewenangan yang bukan tupoksinya, karena kondisi, tetapi baik dari segi regulasi maupun kode etik, hal itu tidak dibolehkan tetapi disisi lain, temen-teman perawat terpaksa melakukannya, karena memang ditempat itu, kondisinya sangat memaksa demikian. Kalau tidak justru lebih fatal akibat yang teman-teman perawat bakal alami.
Salah satu yang paling kongkrit tindakan perawat yang melakukan sesuatu yang bukan tupoksinya adalah pemberian tindakan infasi pada pasien. Tindakan infasi yaitu injuction, pemasangan infus, pemasangan kateter dan lain sebagainya. Bukanlah wewenang perawat tetapi tugas dokter. Dan wewenang-wewenang yang seperti ini sudah lumrah terjadi, dan yang kita khawatirkan jika nantinya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka teman-teman perawat akan menghadapi dua masalah, selain ancaman pelanggaran UU kesehatan juga diancam pelanggaran kode etik. Oleh karena itu, perawat masih butuh kepastian hukum agar mereka nyaman saat melakukan tindakan dalam kaitannya sebagai Nakes.
Kalangan perawat tetap menginginkan payung hukum dalam bentuk UU untuk menjamin rekrutmen, pendidikan dan pelayanan yang berkwalitas. Pada 12 Mei 2008 yang lalu, didepan gedung DPR para PPNI berunjuk rasa dan menuntut mereka utamanya hanyalah mendesak agar Pemerintah dan DPR segera meng-gol-kan RUU keperawatan. Dan perlu perlindungan hukum dalam bentuk UU terhadap profesi perawat adalah sebuah keniscayaan. Pandangan dilontarkan Dewi Irawati, dengan fakultas ilmu keperawatan UI, kepada hukum moniline yang ditemui dalam acara Peluncuran Program Duktoral Ilmu Keperawatan UI di Jakarta. Keberadaan profesi perawat, selama ini bukannya tanpa dasar hukum, memang selama ini ada beberapa aturan dalam sebuah UU.
Profesi perawat yang bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kemaslahatan umat, seharusnya diatur dalam sebuah UU. “Perawat ini butuh aturan hukum yang lebih tinggi yang mengatur mengenai kwalitas dan pelayanan termasuk juga sanksi bagi perawat yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik”.
Saking pentingnya UU ini, jelas Harif, sampai-sampai PPNI mengaku sudah memperjuangkannya sejak tahun 1989. “Walaupun konsep RUU-nya baru kami telurkan pada 1998. hingga saat ini kami sudah menyempurnakan RUU ini hingga 19 kali. Sekarang sedang dalam penyempurnaan yang ke dua puluh kalinya.”
Meski sudah berpuluh kali disempurnakan, pemerintah tak kunjung memprioritasikan untuk segera dibahas di Senayan. Pasca demokrasi Mei lalu itu, PPNI memilih “potong kompas”. Mereka mendesak agar RUU keperawatan dijadikan RUU inisiatif DPR.

2.1.1 Perawat Minta Payung Hukum Tindakan Anestesia
Untuk mengantisipasi resiko yuridis yang muncul, Ikatan Perawat Anestesia Indonesia (IPAI) meminta Menteri Kesehatan menerbitkan payung hukum kepada mereka dalam melakukan tindakan medis anestesia, atau yang lazim dikenal sebagai pembiusan. Permintaan itu merupakan salah satu rekomendasi Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) IPAI di Jakarta yang berakhir 8 April lalu.
Ketua Umum IPAI Mustafa Usman mengatakan rekomendasi tersebut merupakan upaya para perawat anestesia untuk mendapatkan legalitas praktek perawatan dan tindakan medis anestesia. Para perawat khawatir tindakan mereka bisa diseret ke jalur hukum. Faktanya, sudah ada perawat yang berurusan dengan aparat penegak hukum gara-gara melakukan tindakan anestesia.
Misalnya yang terjadi di Batam. Seorang perawat anestesi melakukan pembiusan terhadap seorang ibu yang akan melahirkan. Selang lima jam kemudian, bayi yang baru dilahirkan meninggal dunia. Perawat tersebut dilaporkan pengacara korban karena diduga telah melakukan tindakan yang ilegal.
Walaupun pada akhirnya, perawat tersebut tidak sampai terkena sanksi pidana atau denda, tetapi tetap saja kejadian ini menimbulkan kekhawatiran bagi perawat anestesi di Indonesia. Sebagai catatan, tindakan perawat tersebut memang tidak dilakukan dengan didampingi oleh dokter anestesi, karena keterbatasan dokter anestesi di daerah. Bila payung hukum tidak dibuatkan, kalangan perawat khawatir akan dijerat UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.
Pasal 73 UU ini tegas menyebutkan : Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik. Ketentuan dimaksud tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang diberi kewenangan oleh Peraturan Perundang-undangan.
Selanjutnya, pasal 77 menegaskan bahwa Setiap orang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp150 juta.
Menurut Mustafa Usman, kedua pasal tadi menjadi sumber ketakutan perawat anestesi dalam menjalankan prakteknya. Untuk itulah mereka meminta Menteri Kesehatan menerbitkan payung hukum, minimal dalam bentuk Peraturan Menteri. Saat ini aturan yang masih dipakai oleh Perawat Anestesi adalah Standar Pelayanan Anestesi Reanimasi di Rumah Sakit. Buku standar Departemen Kesehatan tersebut dikeluarkan pada tahun 1999. Memang, kata Mustafa, buku ini masih relevan untuk dipakai saat ini. Tetapi buku tersebut harus ditingkatkan menjadi Peraturan Menteri Kesehatan. Karena menurut UU No 10 Tahun 2004, Peraturan Menteri termasuk kategori peraturan perundang-undangan. Ketidakadaan peraturan perundang-undangan yang diminta oleh pasal 73 UU Praktek Kedokteran sebenarnya menjadi dilemma bagi perawat anestesi, di daerah khususnya. Di satu sisi, Perawat Anestesi harus melakukan tindakan medis sendiri karena tidak ada dokter anestesi. Namun di sisi lain, dapat dikenai sanksi pidana atau denda.
2.1.1.1 Harus Didampingi Dokter
Pendapat berbeda disampaikan Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Anestesi Indonesia (IDSAI) Bambang Tutuko. Menurut dia, yang harus melakukan tindakan medis adalah dokter. Pengertian dokter di sini tidak hanya terbatas pada dokter anestesi saja tetapi mencakup dokter secara umum, terutama dalam keadaan darurat.
Jika melakukan tindakan kedokteran, perawat anestesia harus didampingi dokter atau perawat tersebut mendapat pelimpahan tugas dari dokter. “Karena yang harus melakukan tindakan kedokteran harus orang yang berkompeten,” ujar dokter yang ikut mengajukan judicial review UU No. 29 Tahun 2004 ini.
Bambang Tutuko menyadari dengan keterbatasan jumlah dokter anestesi di Indonesia. Meski jumlah dokter anestesia kurang, tindakan pembiusan (anestesi) terkait erat dengan tindakan pembedahan. Dalam proses pembedahan mustahil tidak ada dokter bedah atau dokter lainnya. Sehingga dalam kondisi darurat pun, dalam hal tidak ada dokter anestesi, dokter lain yang melakukan pembedahan dapat melimpahkan kewenangannya kepada perawat anestesi. Jadi intinya, perawat anestesi tidak boleh melakukan tindakan anestesi seorang diri. Ia merujuk pada pasal 77 UU Praktek Kedokteran.
Bambang menilai permintaan IPAI atas payung hukum anestesia, sebagai usaha membuat perawat anestesi menjadi mandiri. Bambang mengingatkan bahwa yang harus didahulukan adalah kepentingan publik, bukan kepentingan golongan baik IDSAI maupun IPAI. Oleh sebab itu, Permenkes –kalaupun kelak diterbitkan— tidak boleh merugikan banyak pihak, apalagi pasien.
2.1.2 Program Rekrutmen

Perangkat hukum yang ada saat ini masih memicu masalah bagi dunia keperawatan. Misalnya dari segi rekrutmen, meski ada keputusan MENKES bernomor 1239 tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktek perawat ternyata tidak sesuai dengan harapan. Rekrutmen perawat seharusnya melalui sebuah uji kompetensi. Prakteknya selama ini hanya melalui uji formalitas. Selama ini hanya berdasarkan kelulusan formalitas saja dari perguruan tinggi atau akademi kesehatan. Padahal untuk melayani kesehatan masyarakat, dibutuhkan perawat yang berkwalitas yang dihasilkan melalui uji kompetensi.
Masalah mendasar yang muncul kemudian adalah lembaga yang berwenang menguji kompetensi calon perawat. Kalau praktek di luar negeri, instansi yang berwenang menguji kompetensi adalah konsil perawat, yaitu semacam badan independent. PPNI dalam RUU keperawatan memang tegas menyebut konsil keperawatan Indonesia sebagai suatu badan otonom yang bersifat independent. Di Indonesia, lembaga konsil dikenal dalam UU No 29 tahun 2004 tentang Prakek kedokteran dan seharusnya tidak ada pembedaan perlakuan antara profesi dokter dengan perawat. Toh keduanya sama-sama dalam bidang kesehatan.

2.1.3 Tidak Bisa Bersaing

RUU keperawatan lebih jauh mengatur mengenai tindakan medik terbatas yang bisa dilakukan oleh perawat yaitu sebagai jenis dan bentuk tindakan medik yang disepakati bersama dengan profesi kedokteran melalui ketetapan MENKES dan dilakukan oleh perawat profesional yang kompenten di bidangnya. Pengaturan hukum mengenai kewenangan perawat mengambil tindakan medis terbatas itu mutlak diperlukan untuk melindungi perawat. “Karena ada salah satu pasal dalam UU Praktek Kedokteran yang bisa dipakai untuk menjerat perawat.


2.1.4 Profesi Perawat Antara Harapan, Tuntutan Dan Kenyataan

Krisis yang menimpa bangsa sekarang ini, datang dari berbagai lini kehidupan. Berbagai permasalahan sepertinya tak akan pernah lari dari bangsa kita, bahkan semakin hari permasalahan bangsa semakin komplit. Para profesi di berbagai bidang menuntut perbaikan kesejahteraan. Demikian halnya juga perawat sebagai salah satu profesi dibidang kesehatan. Tuntutan mereka bukanlah sekedar ikut-ikutan karena melihat fenomena yang ada. Akan tetapi kalau dikaji lebih dalam sebenarnya itu adalah merupakan hak yang harus dipenuhi.
Sebagian besar masyarakat mengenal profesi perawat sebagai pembantu medis dalam memberikan pelayanan kesehatan. Profesionalisme keperawatan merupakan proses dinamis dimana profesi keperawatan yang telah terbentuk (1984) mengalami perubahan dan perkembangan karakteristik sesuai dengan tuntutan profesi dan kebutuhan masyarakat.
Untuk mempertahankan dan mengembangkan profesi, maka organisasi keperawatan harus melakukan beberapa fungsi : Definisi dan pengaturan melalui penyusunan standart pendidikan dan praktek bagi perawat umum dan spesialis. Pengaturan dapat ditempuh melalui pemberian izin praktek (lisensi), sertifikat dan akreditasi.

2.2 Landasan Hukum Profesi Perawat
Kesehatan, sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan, papan dan pendidikan, perlu diatur dengan berbagai piranti hukum. Sebab pembangunan di bidang kesehatan diperlukan tiga faktor :
1. Perlunya perawatan kesehatan diatur dengan langkah-langkah tindakan konkrit dari pemerintah
2. Perlunya pengaturan hukum di lingkungan sistem perawatan kesehatan
3. Perlunya kejelasan yang membatasi antara perawatan kesehatan dengan tindakan tertentu.
Ketiga faktor tersebut memerlukan piranti hukum untuk melindungi pemberi dan penerima jasa kesehatan, agar ada kepastian hukum dalam melaksanakan tugas profesinya. Dalam pelayanan kesehatan (Yan-Kes), pada dasarnya merupakan hubungan “unik”, karena hubungan tersebut bersifat interpersonal. Oleh karena itu, tidak saja diatur oleh hukum tetapi juga oleh etika dan moral. Di dalam konteks ini, saya mencoba memberikan pemahaman kepada kawan-kawan perawat tentang arti penting peraturan hukum di bidang kesehatan dalam melaksanakan tugas pelayanan kesehatan.
2.2.1 Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
a) Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 3
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
b) Pasal 1 Ayat 4
Sarana Kesehatan adalah tempat yang dipergunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
2.2.2 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor : 1239/MENKES/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat (sebagai revisi dari SK No. 647/MENKES/SK/IV/2000)
a) Ketentuan Umum Pasal 1 :
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Surat Izin Perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh Indonesia.
3. Surat Ijin Kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh wilayah Indonesia.ketentuan Pidana yang diatur dalam Pasal 359, 360, 351, 338 bahkan bisa juga dikenakan pasal 340 KUHP. Salah satu contohnya adalah pelanggaran yang menyangkut Pasal 32 Ayat (4) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam ketentuan tersebut diatur mengenai pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pelanggaran atas pasal tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1a) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan :
“barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenagan dengan sengaja : melakukan pengobatan dan atau peraywatan sebagaimana dimaksud pasal 32 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
4. Standar Profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik
b) Perizinan, Pasal 8 :
1. Perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan, praktek perorangan/atau berkelompok.

2. Perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK.
3. Perawat yang melakukan praktek perorangan/berkelompok harus memiliki SIPP
c) Perizinan Pasal 9 Ayat 1
SIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat 2 diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
d) Perizinan Pasal 10
SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan.
e) Perizinan Pasal 12
(1) SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
(2) SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan atau memiliki pendidikan keperawatan dengan kompetensi yang lebih tinggi.
f) Pasal 13
Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan/atau SIPP dilakukan melalui penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan bidang keperawatan, kepatuhan terhadap kode etik profesi serta kesanggupan melakukan praktek keperawatan.
g) Pasal 15
Perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan berwenang untuk :
a. melaksanakan asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.
b. Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir a meliputi : intervensi keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan.
c. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dmaksud huruf a dan b harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan organisasi profesi.
d. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter
Pengecualian pasal 15 adalah pasal 20;
(1). Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa pasien/perorangan, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2). Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
Pasal 21
(1).Perawat yang menjalankan praktek perorangan harus mencantumkan SIPP di ruang prakteknya.
(2).Perawat yang menjalankan praktek perorangan tidak diperbolehkan memasang papan praktek.
Pasal 31
(1). Perawat yang telah mendapatkan SIK aatau SIPP dilarang :
a. menjalankan praktek selain ketentuan yang tercantum dalam izin tersebut.
b. melakukan perbuatan bertentangan dengan standar profesi.
(2). Bagi perawat yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari larangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) butir a.
Di dalam praktek apabila terjadi pelanggaraan praktek keperawatan, aparat penegak hukum lebih cenderung mempergunakan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan ketentuan. Sebagai penutup, saya sangat berharap adanya pemahaman yang baik dan benar tentang beberapa piranti hukum yang mengatur pelayanan kesehatan untuk menunjang pelaksanaan tugas di bidang keperawatan dengan baik dan benar
2.3 HASIL PENELITIAN PERAWAT DI LAPANGAN

Perawat yang telah melaksanakan kebijakan registrasi dan praktik perawatan 58,1%; perawat yang tidak mendapatkan hak dalam praktik perawatan 53,5%; perawat yang telah melaksanakan kewajiban sebagai perawat dalam praktik 51,2%; perawat yang telah memahami hukum kesehatan 55,8%; dan perawat telah memahami wewenang perawat dalam praktik perawat 79,1%.

2.3.1 PELAKSANAAN HAK PERAWAT

Sebagian besar hak perawat belum terpenuhi, yakni hak jaminan perlindungan terhadap resiko kerja, hak diperlakukan adil, hak imbalan jasa pelayanan keperawatan dan hak perlindungan hukum.


Sebagaimana pernyataan dibawah ini : ”hak perawat kurang sesuai dengan resiko kerja,... demikian dengan perlindungan kepada perawat dari pimpinan belum terpenuhi, Perawat sering sebagai objek kesalahan apabila ada perselisihan pelayanan dengan pasien.

2.3.2 PEMAHAMAN BATAS KEWENANGAN PERAWAT

Perawat sebagian besar sudah mengetahui batas kewenangannya, namun dalam lingkup pekerjaan kewenangan perawat dalam menjalankan praktik, lebih kepada kewenangan pendelegasian, perawat lebih memilih tugas-tugas rutin dibandingkan pelaksanaan asuhan keperawatan

2.3.3 KEWAJIBAN PERAWAT DALAM PRAKTIK PERAWATAN

Kewajiban perawat dalam praktik merupakan suatu perbuatan dalam menjalankan tugas praktik dan yang harus di penuhi oleh Perawat, pemenuhan kewajiban perawat sebagai suatu hasil dari implementasi kebijakan registrasi dan praktik perawat. Untuk mengetahui keberhasilan kebijakan registrasi dan praktik perawat diperlukan evaluasi pemenuhan kewajiban perawat yang dihubungkan dengan kebijakan. adanya hubungan yang signifikan antara kebijakan praktik perawat dengan pemenuhan kewajiban perawat dalam praktik. Kewajiban perawat tertulis pada Kepmenkes RI nomor 1239 tahun 2001, seperti dalam pasal 8 tentang perijinan, Perawat berkewajiban memiliki SIK. Pasal 13 perawat berkewajiban meningkatkan kemampuan keilmuan dan keterampilan bidang keperawatan melalui pendidikan dan atau pelatihan. Pasal 16 perawat berkewajiban menghormati pasien, merujuk kasus yang tidak dapat di tangani, menyimpan rahasia pasien, memberikan informasi, meminta persetujuan tindakan, melakukan catatan perawatan yang baik. Kewajiban perawat merupakan suatu bentuk tanggung jawab dalam menjalankan suatu tugas /pekerjaan, kewajiban ini sebagai akibat dari adanya suatu perjanjian. Perjanjian pelayanan keperawatan adalah perbuatan hukum antara perawat dengan pasien yang saling mengikat, dapat menimbulkan hak dan kewajiban. Perjanjian dalam pelayanan keperawatan adalah upaya yang dilakukan perawat dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin agar tercapai tujuan asuhan keperawatan yang telah disepakati, sedang keberhasilannya tidak dipersyaratkan. Sejalan dengan pernyataan tersebut diatas tentang kewajiban perawat, bahwa timbulnya kewajiban tenaga kesehatan disebabkan karena :
(1) ditetapkan oleh peraturan atau perundang-undangan, dan
(2) akibat dari adanya suatu hubungan hukum atau perjanjian perawatan.
Namun bila dibandingkan dengan hasil wawancara dan diskusi terfokus, bahwa kewajiban registrasi dan praktik perawat masih ada yang belum dilaksanakan. Kewajiban perawat adalah hal /pekerjaan yang harus dilakukan sesuai dengan kewenangan yang diperoleh, kewajiban itu sediri tidak hanya sekedar menjalankan pekerjaan yang diberikan tetapi bagaimana pekerjaan itu dikerjakan sesuai dengan batas kewenangan agar dapat dipertanggung jawabkan. Kewajiban registrasi perawat sesuai dengan Kepmenkes RI adalah lisensi SIP, SIK dan SIPP.






















BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam melaksanakan tugas perawat saat ini merasakan kehawatiran, karena dalam profesi keperawatan belum adanya Undang-Undang dan payung hukum yang jelas sehingga selama ini memasung profesi perawat dalam melaksanakan tugasnya.
Profesi perawat sangat membutuhkan payung hukum yang jelas untuk menjalankan profesinya, karena tanpa Undang-Undang yang jelas perawat akan kesulitan dalam melakukan tugasnya sebagai perawat yang profesional.

3.2 saran
Diharapkan makalah ini mampu menambah semangat para perwat agar mampu merubah anggapan masyarakat bahwa perawat bukan pembantu dokter, melainkan profesi yang mandiri.


















DAFTAR PUSTAKA


- www.lrc-kmpk.ugm.ac.id/id/UP-PDF/_working/No.18_ahmad%20rivai_07_08.pdf–
( 11 April 2009 / 13.18)
- http://blogs.unpad.ac.id/Kel1_FIK08/?page_id=51 ( 7.34 / 15 april 2009 )
- http://saltarlaode.wordpress.com/2009/03/27/profesi-perawat-antara-harapan-tuntutan- dan-kenyataan/ (11 April 2009 / 13.47 )
- http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=16493&cl=Berita
( 7 April 2009/ 20.06 )
- http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=20170&cl=Berita
( 7 April 2009/20.06 )
- http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Palu&id=49598
( 15 April 2009 )

PAYUNG HUKUM BAGI PROFESI PERAWAT PAYUNG HUKUM BAGI PROFESI PERAWAT PAYUNG HUKUM BAGI PROFESI PERAWAT

Kamis, 16 April 2009

Payung Hukum bagi Profesi Perawat

Kalangan perawat tetap menginginkan payung hukum dalam bentuk undang-undang untuk menjamin rekrutmen, pendidikan dan pelayanan yang berkualitas.

Pada 12 Mei 2008 lalu, depan gedung DPR RI dipenuhi belasan ribu pengunjuk rasa berseragam putih-putih. Tidak seperti biasanya dimana pengunjuk rasa adalah mahasiswa atau elemen pro-demokrasi lainnya, kali itu para pengunjuk rasa adalah para perawat. Mereka tergabung dalam Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).



Tuntutan PPNI dalam unjuk rasanya tentu tidak terkait dengan masalah kenaikan harga atau menurunkan rezim pemerintahan. Tuntutan mereka utamanya hanyalah mendesak agar pemerintah dan DPR segera meng-gol-kan RUU Keperawatan.



Perlunya perlindungan hukum, dalam bentuk undang-undang, terhadap profesi perawat adalah sebuah keniscayaan. Pandangan ini dilontarkan Dewi Irawaty, Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan UI kepada hukumonline yang ditemui dalam acara Peluncuran Progam Doktoral Ilmu Keperawatan UI di Jakarta, akhir pekan lalu.



Keberadaan profesi perawat, kata Dewi, selama ini bukannya tanpa dasar hukum. “Memang selama ini ada beberapa aturan hukum yang mengatur mengenai perawat. Tapi bukan dalam sebuah undang-undang. Paling hanya keputusan Menteri Kesehatan,” ucap Dewi.



Bagi Dewi, profesi perawat yang bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kemaslahatan umat, seharusnya diatur dalam sebuah undang-undang. “Perawat ini butuh aturan hukum yang lebih tinggi yang mengatur mengenai kualitas dan pelayanan termasuk juga sanksi bagi perawat yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.”



Hal senada diungkapkan Harif Fadhilah. Sekretaris I PPNI ini melihat adanya ketidakharmonisan dalam beberapa regulasi seputar perawat. “Dalam beberapa regulasi yang ada, terjadi ketidakharmonisan pengaturan dalam segi perekrutan, pendidikan maupun pelayanan kesehatan oleh perawat,” jelas Harif via telepon Jumat (19/9).



Saking pentingnya undang-undang ini, jelas Harif, sampai-sampai PPNI mengaku sudah memperjuangkannya sejak tahun 1989. “Walaupun konsep RUU-nya baru kami telurkan pada 1998. Hingga saat ini, kami sudah menyempurnakan RUU ini hingga 19 kali. Sekarang sedang penyempurnaan yang kedua puluh kalinya.”



Meski sudah berpuluh kali disempurnakan, pemerintah tak kunjung memprioritaskan untuk segera dibahas di Senayan. Pasca demonstrasi Mei lalu itu, PPNI memilih ‘potong kompas’. Mereka mendesak agar RUU Keperawatan dijadikan RUU inisiatif DPR. “Kami sempat senang karena Ketua DPR sudah berkirim surat ke Badan Legislatif DPR untuk memprioritaskan RUU ini ke dalam Prolegnas 2008. Sayang, hingga kini tak ada kabar gembira lagi dari gedung DPR itu,” keluh Harif.



Problem rekrutmen

Seperti ditegaskan Harif, perangkat hukum yang ada saat ini masih memicu masalah sendiri bagi dunia keperawatan. Dari segi rekrutmen misalnya. Menurut Harif, meski ada Keputusan Menkes bernomor 1239 Tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat, ternyata tidak sesuai dengan harapan.



Rekrutmen perawat, kata Harif, seharusnya melalui sebuah uji kompetensi. Praktiknya selama ini hanya melalui uji formalitas. “Selama ini hanya berdasarkan kelulusan formalitas saja dari perguruan tinggi atau akademi kesehatan. Padahal untuk melayani kesehatan masyarakat, dibutuhkan perawat yang berkualitas yang dihasilkan melalui uji kompetensi.”



Masalah mendasar yang muncul kemudian adalah lembaga yang berwenang menguji kompetensi calon perawat. “Kalau praktik di luar negeri, instansi yang berwenang menguji kompetensi adalah konsil perawat, yaitu semacam badan independen,” timpal Dewi.



PPNI dalam RUU Keperawatan memang tegas menyebut Konsil Keperawatan Indonesia sebagai suatu badan otonom yang bersifat independen. Salah satu tugas konsil ini adalah melakukan uji kompetensi dan registrasi perawat. Selain itu, Konsil juga bertugas untuk menyusun standar pendidikan dan pembinaan terhadap praktik penyelenggaraan profesi perawat.



Di Indonesia, lembaga Konsil ini dikenal dalam UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Tugasnya mirip dengan konsil yang ada dalam RUU Keperawatan. Bedanya, konsil dalam UU Praktik Kedokteran ditujukan bagi dokter umum dan dokter gigi.



Bagi Dewi, seharusnya tidak ada pembedaan perlakuan antara profesi dokter dengan perawat. Toh keduanya sama-sama melayani masyarakat dalam bidang kesehatan. “Jadi kalau di dunia kedokteran ada konsil, harusnya juga ada nursing regulatory body bagi perawat.”



Tidak Bisa Bersaing

Jika dirunut, masalah rekrutmen dan registrasi perawat bisa menimbulkan masalah lain. Salah satunya mengenai daya saing tenaga kerja perawat Indonesia dengan perawat luar negeri.



Harif menuturkan contoh ketika pada suatu waktu tenaga perawat Indonesia hanya bisa ‘dipakai’ sebagai pembantu perawat di Jepang. Sekadar ilustrasi, menurut Harif, dalam dunia keperawatan internasional dikenal empat jenjang. Paling buncit adalah jenjang pembantu perawat.



PPNI merasa riskan dengan kondisi dan kemampuan daya saing perawat Indonesia ini. Apalagi saat ini Indonesia sudah menandatangani Mutual Recognition Arrange (MRA), semacam perjanjian pertukaran perawat di antara negara-negara ASEAN. Januari 2010 nanti, MRA itu sudah resmi berlaku. “Nanti jadi apa perawat Indonesia di luar negeri?” Harif khawatir.



Ketidakprofesionalan rekrutmen dan sistem registrasi perawat juga bisa berdampak pada pelayanan kesehatan ke masyarakat. Dengan kondisi dimana sebaran dokter belum merata di seluruh Indonesia, maka perawat diharapkan bisa menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan terhadap masyarakat.



“Walaupun sebenarnya tindakan kesehatan atau medis yang diambil seorang perawat adalah tindakan yang sifatnya emergency. Nantinya perawat itu harus segera melakukan tindakan kolaboratif dengan dokter. Oleh karena itu, kami juga membekali perawat dengan mata kuliah pengobatan yang sifatnya emergency,” papar Dewi.



RUU Keperawatan lebih jauh mengatur mengenai tindakan medik terbatas yang bisa dilakukan oleh perawat yaitu sebagai jenis dan bentuk tindakan medik yang disepakati bersama dengan profesi kedokteran melalui ketetapan menteri kesehatan dan dilakukan oleh perawat professional yang kompeten dibidangnya.



Menurut Harif, pengaturan hukum mengenai kewenangan perawat mengambil tindakan medis terbatas itu mutlak diperlukan untuk melindungi perawat. “Karena ada salah satu pasal dalam UU Praktik Kedokteran yang bisa dipakai untuk menjerat perawat. Ini terbukti. Ada beberapa perawat kami di daerah yang ditangkapi polisi,” pungkasnya.

Rabu, 01 April 2009

HIV AIDS

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan sindrom atau kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh retrovirus yang menyerang sistem kekebalan tubuh/pertahanan tubuh. Pertama kali didiagnosis pada tahun 1981 di Amerika Serikat dan sampai saat ini telah menyerang sebagian besar negara di dunia (pandemi) baik di negara maju maupun negara berkembang. Penyakit ini telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu relatif cepat terjadi peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak negara. Belum diketemukannya obat/vaksin yang efektif terhadap AIDS telah menyebabkan keresahan dan keprihatinan di seluruh dunia (Beni, 2006).
Perkembangan epidemi HIV/AIDS di Indonesia termasuk dalam kelompok tercepat di Asia. Bahkan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) menyatakan bahwa fase epidemik HIV/AIDS di Indonesia telah berubah dari “ low” menjadi “concentrated” . Prevalensi terkonsentrasi berarti bahwa jumlah ODHA kurang dari 1% dari total penduduk secara keseluruhan, namun pada kelompok resiko tinggi sudah terinfeksi lebih dari 5% penduduk pada kelompok tersebut (Usman&Apriyanthi,2005).

Pengertian HIV/AIDS
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immuno deficiency Virus) yang merusak sebagian dari sistem kekebalan tubuh manusia. Orang yang terkena penyakit tersebut akan mudah terserang berbagai penyakit yang mematikan. Menurut Soemarsono (1991) menjelaskan lebih rinci tentang kepanjangan dari huruf-huruf yang terdapat dalam AIDS yaitu;
a. Acquired (didapat) : ditularkan dari satu orang ke orang lain, bukan merupakan penyakit bawaan.
b. Immune (kebal) : sistem pertahanan/kekebalan tubuh, yang melindungi tubuh terhadap infeksi.
c. Deficiency (kekurangan) : menunjukkan adanya kadar atau nilai yang lebih rendah dari normal/biasanya
d. Syndrome (sindrom) : suatu kumpulan tanda atau gejala yang bila didapatkan secara bersamaan, menunjukkan bahwa seseorang mengidap suatu penyakit/keadaan tertentu (ASA-INSIST, 2003).

Gejala Penderita HIV/AIDS
Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala apapun. Mereka merasa sehat dan juga dari luar nampak sehat-sehat saja, namun orang yang terinfeksi HIV akan menjadi pembawa dan penular HIV kepada orang lain. Kelompok orang-orang tanpa gejala ini dapat dibagi 2 kelompok yaitu:
a. Kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tetapi tanpa gejala dan tes darahnya negatif. Pada tahap dini ini antibodi terhadap HIV belum terbentuk. Waktu antara masuknya HIV ke dalam peredaran darah dan terbentuknya antibodi terhadap HIV disebut Window Period yang memerlukan waktu antara 15 hari sampai 3 bulan setelah terinfeksi HIV.
b. Kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tanpa gejala, tetapi tes darah positif. Keadaan tanpa gejala seperti 5 tahun atau lebih (Nursalam, 2006).

Penularan HIV/AIDS
Virus HIV ini sangat mudah menular dan mematikan serta hidup dalam 4 jenis cairan tubuh manusia yaitu darah, sperma, cairan vagina dan air susu ibu (ASI). Virus ini tidak hidup di dalam cairan tubuh lainnya seperti air ludah (air liur), air mata maupun keringat sehingga penularannya hanya lewat empat cairan tubuh tersebut (Hutapea, 2005).

Penularan HIV yang terjadi apabila terjadi kontak atau pertukaran cairan tubuh yaug mengandung virus melalui sebagai berikut:
a. Hubungan seksual (homoseksual dan heteroseksual) yang tidak terlindung dengan seseorang yang mengidap HIV.

b. Transfusi darah dan transplantasi organ yang tercemar oloh HIV. Transfusi darah yang tercemar HIV secara langsung akan menularkan HIV ke dalam sistem peredaran darah dari si penerima.

c. Jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tindik, tato) yang tercemar oleh HIV. Oleh karena itu, pemakaian jarum suntik secara bersama-sama oleh pecandu narkotika akan mudah menularkan HIV di antara mereka, apabila salah satu di antara mereka adalah pengidap HIV.

d.Penularan ibu hamil yang terinfeksi HIV kepada anak yang dikandungnya. Penularan dapat terjadi selama kehamilan atau persalinan atau selama menyusui (Nursalam, 2006).

Mengingat pola penularan HIV seperti tersebut di atas, maka orang-orang yang berisiko lebih besar untuk tertular HIV/AIDS adalah:
a.Individu yang sering berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seksual.
b.Penjaja seksual dan pelanggannya
c.Pengguna jarum suntik secara bersamaan (bergantian).
d. Bayi yang dikandung ibu yang terinfeksi.
e. Orang-orang yang memerlukan transfusi darah secara teratur : (thalesemia, haemofili) bila darah donor tidak dilakukan skrining (Nursalam, 2006).

Kegiatan hubungan seksual sering dilakukan sehingga sebagian besar penularan HIV melalui hubungan seksual,yaitu 80-90% dari total kasus dunia. Adapun intensitas dari penyebaran HIV lainnya yaitu transfusi darah sebesar 3-5%, perinatal sebesar 0,1%, dan penggunaan suntikan/jarum sebesar 5-10 % dari total kasus dunia (Notoadmodjo, 2007).

Penularan dari sub-populasi berperilaku berisiko kepada isteri atau pasangannya juga dapat terjadi. Diperkirakan pada akhir tahun 2015 akan terjadi penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38,500 anak yang dilahirkan dari ibu yang sudah terinfeksi HIV (KPAN, 2008)

HIV dapat digolongkan sebagai salah satu infeksi menular seksual. Hutapea (2005) menjelaskan tentang infeksi melalui hubungan seksual yaitu sebagai berikut:
a.Risiko penularan seksual dari pria ke wanita lebih besar daripada dari wanita ke pria. Hal ini disebabkan wanita adalah resipien partner (pasangan penerima) dalam hubungan seksual.
b.Seks anal berisiko lebih tinggi daripada seks melalui vagina karena seringkali terjadi perlukaan pada daerah anal.
c.Pencegahan infeksi dapat dilakukan dengan menggunakan kondom secara tepat dan konsisten pada mereka yang berperilaku berisiko.

Penularan infeksi HIV melalui hubungan seksual paling banyak terjadi. Menurut Hutapea (2005) menjelaskan bahwa kelompok berisiko tinggi tertular HIV/AIDS mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.Aktif dalam perilaku seksualnya. Makin aktif, makin tinggi risikonya Golongan yang sangat aktif adalah WPS (wanita pekerja seks), PTS (pria tuna susila) dan pelanggan WTS/PTS. Ditinjau dari usianya yang mempunyai kemungkinan tertinggi untuk berperilaku seksual aktif adalah orang-orang yang berusia remaja ke atas.
b.Kaum biseksual maupun homoseksual. Makin sering dia melakukan praktek homoseksual, makin tinggi risikonya.
c.Mereka yang suka/pernah melakukan hubungan seksual dengan orang asing yang berasal dari daerah-daerah di mana insidens AIDS tinggi.

Diagnosis HIV/AIDS
Masa inkubasi atau laten terinfeksi HIV sangat tergantung ubuh masing-masing, rata-rata 5-10 tahun. Tahap ini tidak terlihat gejala walaupun jumlah HIV semakin bertambah dan sel T4 semakin turun dan semakin merusak fungsi sistem kekebalan tubuh. Hal ini yang menunjukkan ODHA tidak dapat dibedakan dengan orang lain kecuali bila telah diperiksa darahnya, karena tidak menunjukkan gejala klinis. Mereka dapat melakukan aktifitas apapun seperti layaknya orang biasa (Arjoso, 2006).

Diagnosis HIV terbagi dalam 4 stadium, yaitu :
1. Stadium pertama : HIV
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV, diikuti perubahan serologik ketika antibodi terhadap virus berubah dari negatif menjadi positif. Rentang waktu perubahan tersebut disebut window period yang lamanya 1-3 bulan, bahkan berlangsung sampai 6 bulan.
2. Stadium kedua : asimptomatik (tanpa gejala)
Organ tubuh yang terdapat HIV tidak menunjukkan gejala-gejala dan dapat berlangsunr rata-rata 5-10 tahun. Cairan tubuh yang tampak sehat ini sudah dapat menularkan HIV.
3. Stadium ketiga : Pembesaran Kelenjar Limfe
Pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata (persistent Generalized Lymphadenopathy) , tidak hanya satu tempat dan berlangsung lebih dari 1 bulan.
4. Stadium keempat : AIDS
Disertai adanya bermacam penyakit lain akibat infeksi oportunistik seperti penyakit konstitusional, penyakit saraf dan penyakit infeksi sekunder lainnya.

Penanggulangan dan Pencegahan HIV/AIDS
Masalah HIV/AIDS dan masalah IMS merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Penanggulangan HIV/AIDS merupakan bagian integral dari penanggulangan IMS di Indonesia karena beberapa hal sebagai berikut:
a. Cara penularan terpenting dari HIV/AIDS dan IMS lainnya adalah melalui hubungan seksual.
b. Pencegahan penularan seksual HIV/AIDS dan IMS umumnya sama, baik caranya maupun khalayak sasarannya
c. Adanya IMS pada seorang penderita akan memudahkan tertular HIV berlipat kali dibanding orang yang tidak menderita IMS (disebut sebagai co-faktor penularan HIV/AIDS). Oleh karena itu, diagnosis IMS dan pengobatan yang efektif merupakan strategi yang penting untuk pencegahan penularan HIV.
d. Kecenderungan adanya peningkatan penderita IMS dapat dijadikan indikator dari adanya perubahan perilaku seksual (Nursalam, 2006). Pada tahun 2003, STRANAS 2003 –2007 diluncurkan sebagai respons terhadap berbagai perubahan, tantangan dan masalah HIV dan AIDS yang semakin besar dan rumit. Tahun 2004 Program penanggulangan HIV dan AIDS di tempat kerja diluncurkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan pemberlakuan Kaidah ILO.

Untuk meningkatkan penyelenggaraan upaya pengurangan dampak buruk (Harm Reduction) penyalahgunaan napza ditandatangi Nota Kesepahaman tentang upaya terpadu pencegahan penularan HIV dan AIDS dan pemberantasan penyalahgunaan NAPZA dengan cara suntik antara Menko Kesra selaku Ketua KPA dan KAPOLRI selaku Ketua Badan Narkotika Nasional (BNN). Untuk memenuhi kebutuhan, maka obat ARV mulai diproduksi di alam negeri oleh perusahaan farmasi pemerintah PT Kimia Farma.

Percepatan respons di 6 provinsi dengan prevalensi HIV dan AIDS tertinggi dilakukan setelah Komitmen Sentani pada Januari 2004 dan meluas ke 8 provinsi lainnya. Penanggulangan HIV dan AIDS di Lapas dimulai tahun 2005 dan terus ditingkatkan. Pada awal 2005 diluncurkan program akselerasi di 100 kabupaten/kota di 22 provinsi, disertai dengan diberlakukannya Sistem Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan HIV dan AIDS Nasional.

Pada Juli 2006 Institusi KPA Nasional diperbaharui dengan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006 (Perpres 75/2006) yang melibatkan lebih banyak sektor, TNI dan Polri dan masayarakat sipil. Tahun 2006 diakhiri dengan perhitungan estimasi jumlah sub-populasi rawan terhadap penularan HIV tahun 2006 sebagai dasar perencanaan mendatang, penerbitan Peraturan MenkoKesra/Ketua KPA Nasional tentang Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Jarum Suntik sebagai tindak lanjut dari Nota Kesepahaman KPA-BNN yang ditandatangani pada tahun 2003. dan retrukturisasi sekretariat KPA Nasional.

Di tahun-tahun mendatang tantangan yang dihadapi dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS semakin besar dan rumit sehingga diperlukan strategi baru untuk menghadapinya. Strategi Nasional 2007-2010 (STRANAS 2007-2010) menjabarkan paradigma baru dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia dari upaya yang terfragmentasi menjadi upaya yang komprehensif dan terintegrasi diselenggarakan dengan harmonis oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder).(KPAN, 2008).

Strategi dalam penanggulangan IMS-HIV/AIDS akan dilakukan antara lain, pencegahan, surveilans, pendidikan dan pelatihan, serta koordinasi dan kerjasama lintas program dan sektor. Upaya pencegahan terhadap IMS dan HIV/AIDS akan dilakukan melalui kegiatan yaitu, uji saring darah, promosi kondom, penerapan kewaspadaan universal, dan pencegahan penularan vertikal dan penyalahgunaan obat (Depkes RI, 2001).

Area prioritas penanggulangan HIV dan AIDS untuk tahun 2007-2010 adalah sebagai berikut:

1. Pencegahan HIV dan AIDS;
2. Perawatan, Pengobatan dan Dukungan kepada ODHA;
3. Surveilans HIV dan AIDS serta Infeksi menular Seksual;
4. Penelitian dan riset operasional;
5. Lingkungan Kondusif;
6. Koordinasi dan harmonisasi multipihak;
7. Kesinambungan penanggulangan (KPAN, 2008).

Sedangkan upaya-upaya kegiatan dalam program penanggulangan HIV/AIDS menurut Ditjen PPM & PL (2002) adalah sebagai berikut:
a. Peningkatan gaya hidup sehat (reducing vulnerability of specific pop).
b. Promosi perilaku seksual aman (promoting safer sexual behavior).
c.Promosi dan distribusi kondom (Promoting and distributing condom).
d. Pencegahan dan pengobatan IMS.
e. Penyediaan darah transfusi yang aman.
f. Pengurangan dampak buruk NAPZA suntik (Promoting of safer drug infection behavior).
g. Pengobatan dan perawatan ODHA (orang hidup dengan HIV/AIDS).
h. Dukungan Sosial Ekonomi ODHA (mitigating the impacton people infected and affected by HIV/AIDS).
i. Peraturan Perundang-undangan HIV/AIDS
j. Surveilans.
k. Pendidikan dan latihan.
1. Penelitian dan pengembangan.
m. Kerjasama internasional.

Cara pencegahan penularan HIV/AIDS dalam masyarakat dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:
a. Menghindari hubungan seksual di luar nikah atau tidak berganti-ganti pasangan.
b. Menghindari hubungan dengan kelompok berisiko tinggi.
c. Penggunaan alat protektif (pemakaian kondom) bagi kelompok resiko tinggi.
d. Kelompok risiko tinggi tidak menjadi donor darah.
e. Penggunaan jarum suntik harus steril dan bukan bekas orang lain (Aulia, 2003).

Menurut Suesen (1991) dalam Dachlia (2000), pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual memerlukan pendidikan/penyuluhan yang intensif dan ditujukan untuk mengubah perilaku seksual masyarakat tertentu sedemikian rupa sehingga mengurangi kemungkinan penularan HIV. Pendekatan pendidikan/penyuluhan tentang perilaku seksual, ditujukan terutama mengenai jumlah dan pilihan pasangan seksual, misalnya tidak mengadakan hubungan seksual (abstinence), monogami, mengurangi pasangan seksual sekecil mungkin, menghindari hubungan dengan WTS dan meningkatkan pemakaian kondom (UNFPA, 2005).

Promosi penggunaan kondom merupakan upaya pencegahan IMS, akan tetapi sering menghadapi kendala. Masih banyak kelompok masyarakat yang khawatir promosi kondom akan mendorong sebagian masyarakat untuk berperilaku seksual yang berisiko. Banyak juga mitos atau pendapat keliru yang mendorong rendahnya penggunaan kondom pada pria yang melakukan hubungan seksual beresiko, misalnya mengurangi kenikmatan seksual, tidak praktis dan kondom tidak bermanfaat (Aulia, 2002).

Berdasarkan informasi dari Ditjen PPM & PL (2002) bahwa hasil survey menunjukkan bahwa penjualan kondom melalui social marketing mencapai hasil yang baik dan terus meningkat. Social marketing kondom yang dilakukan telah berhasil mendapatkan pangsa pasar penjualan sejumlah 2-3 juta kondom perbulan di tahun 2001. Disamping itu, pemerintah secara nasional mendistribusikan kondom melalui BKKBN dengan program multifungsi kondom yaitu selain untuk pencegahan kehamilan, juga untuk pencegahan penularan HIV/AIDS dan IMS, serta pemerintah secara insidentil juga menyediakan kondom.

Pada kelomnpok resiko tinggi khususnya WPS, salah satu alternatif perilaku positif dalam mencegah HIV/AIDS agar tidak tertular dan menularkan kepada pelanggan maupun individu lain dalam melakukan hubungan seksual dengan melaksanakan salah satu cara seks yang aman yaitu:
a. Mewajibkan pelanggan untuk memakai kondom.
b. Memakai kondom khusus untuk dirinya sendiri (female condom).
c. Memakai kondom kedua-duanya (Depkes RI, 2001).
ACerita Cinta



Alkisah, di suatu pulau kecil tinggallah berbagai benda abstrak ada CINTA, kesedihan, kegembiraan, kekayaan, kecantikan dan sebagainya. Mereka hidup berdampingan dengan baik. Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik dan akan menenggelamkan pulau itu.
Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri. CINTA sangat kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tidak mempunyai perahu. Ia berdiri di tepi pantai mencoba mencari pertolongan. Sementara itu air semakin naik membasahi kakinya.
Tak lama CINTA melihat kekayaan sedang mengayuh perahu, ?Kekayaan! Kekayaan! Tolong aku!,? teriak CINTA ?Aduh! Maaf, CINTA!,? kata kekayaan ?Aku tak dapat membawamu serta nanti perahu ini tenggelam. Lagipula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini.? Lalu kekayaan cepat-cepat pergi mengayuh perahunya. CINTA sedih sekali, namun kemudian dilihatnya kegembiraan lewat dengan perahunya. ?Kegembiraan! Tolong aku!,? teriak CINTA. Namun kegembiraan terlalu gembira karena ia menemukan perahu sehingga ia tak dapat mendengar teriakan CINTA. Air semakin tinggi membasahi CINTA sampai ke pinggang dan CINTA semakin panik.
Tak lama lewatlah kecantikan ?Kecantikan! Bawalah aku bersamamu!,? teriak CINTA ?Wah, CINTA kamu basah dan kotor. Aku tak bisa membawamu pergi. Nanti kau mengotori perahuku yang indah ini,? sahut kecantikan. CINTA sedih sekali mendengarnya. Ia mulai menangis terisak-isak. Saat itulah lewat kesedihan ?Oh kesedihan, bawlah aku bersamamu!,? kata CINTA. ?Maaf CINTA. Aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja..,? kata kesedihan sambil terus mengayuh perahunya. CINTA putus asa.
Ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya. Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara ?CINTA! Mari cepat naik ke perahuku!? CINTA menoleh ke arah suara itu dan cepat-cepat naik ke perahu itu, tepat sebelum air menenggelamkannya. Di pulau terdekat, CINTA turun dan perahu itu langsung pergi lagi. Pada saat itu barulah CINTA sadar bahwa ia sama sekali tidak mengetahui siapa yang menolongnya. CINTA segera bertanya pada penduduk pulau itu. ?Yang tadi adalah WAKTU,? kata penduduk itu ?Tapi, mengapa ia menyelamatkan aku? Aku tidak mengenalinya. Bahkan teman-temanku yang mengenalku pun enggan menolong? tanya CINTA heran ?Sebab??HANYA WAKTULAH YANG TAHU BERAPA NILAI SESUNGGUHNYA DARI CINTA ITU?






PEREMPUAN (khususnya untuk para lelaki)



Dia yang diambil dari tulang rusuk. Jika Tuhan mempersatukan dua orang yang berlawanan sifatnya, maka itu akan menjadi saling melengkapi. Dialah penolongmu yang sepadan, bukan sparing partner yang sepadan.
Ketika pertandingan dimulai, dia tidak berhadapan denganmu untuk melawanmu, tetapi dia akan berada bersamamu untuk berjaga-jaga di belakang saat engkau berada di depan atau segera mengembalikan bola ketika bola itu terlewat olehmu, dialah yang akan menutupi kekuranganmu.
Dia ada untuk melengkapi yang tak ada dalam laki-laki : perasaan, emosi, kelemahlembutan, keluwesan, keindahan, kecantikan, rahim untuk melahirkan, mengurusi hal-hal sepele...?򠳥 hingga ketika laki-laki tidak mengerti hal-hal itu, dialah yang akan menyelesaikan bagiannya...sehingga tanpa kau sadari ketika kau menjalankan sisa hidupmu... kau menjad! i lebih kuat karena kehadirannya di sisimu.
Jika ada makhluk yang sangat bertolak belakang, kontras dengan lelaki, itulah perempuan. Jika ada makhluk yang sanggup menaklukkan hati hanya dengan sebuah senyuman, itulah perempuan.
Ia tidak butuh argumentasi hebat dari seorang laki-laki... tetapi ia butuh jaminan rasa aman darinya karena ia ada untuk dilindungi.... tidak hanya secara fisik tetapi juga emosi.
Ia tidak tertarik kepada fakta-fakta yang akurat, bahasa yang teliti dan logis yang bisa disampaikan secara detail dari seorang laki-laki, tetapi yang ia butuhkan adalah perhatiannya... kata-kata yang lembut... ungkapan-ungkapan sayang yang sepele... namun baginya sangat berarti... membuatnya aman di dekatmu....
Batu yang keras dapat terkikis habis oleh air yang luwes, sifat laki-laki yang keras ternetralisir oleh kelembutan perempuan. Rumput yang lembut tidak mudah tu! mbang oleh badai dibandingkan dengan pohon yang besar dan rindang... seperti juga di dalam kelembutannya di situlah terletak kekuatan dan ketahanan yang membuatnya bisa bertahan dalam situasi apapun.
Ia lembut bukan untuk diinjak, rumput yang lembut akan dinaungi oleh pohon yang kokoh dan rindang. Jika lelaki berpikir tentang perasaan wanita, itu sepersekian dari hidupnya.... tetapi jika perempuan berpikir tentang perasaan lelaki, itu akan menyita seluruh hidupnya...Karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki- laki, karena perempuan adalah bagian dari laki-laki... apa yang menjadi bagian dari hidupnya, akan menjadi bagian dari hidupmu. Keluarganya akan menjadi keluarga barumu, keluargamu pun akan menjadi keluarganya juga. Sekalipun ia jauh dari keluarganya, namun ikatan emosi kepada keluarganya tetap ada karena ia lahir dan dibesarkan di sana.... karena mere! ka, ia menjadi seperti sekarang ini. Perasaannya terhadap keluarganya, akan menjadi bagian dari perasaanmu juga... karena kau dan dia adalah satu.... dia adalah dirimu yang tak ada sebelumnya. Ketika pertandingan dimulai, pastikan dia ada di bagian lapangan yang sama denganmu.










BELAJAR MENCINTA



Leo F. Buscaglia, begitu namanya. Seorang professor pendidikan di University of Southren California, di Amerika. Ia seorang dengan seabreg kegiatan sosial dan?ceramah-ceramah tentang pendidikan. Satu tema yang terus menerus dibawanya dalam banyak ceramah, adalah tentang cinta.
"Manusia tidak jatuh 'ke dalam' cinta, dan tidak juga keluar 'dari cinta'. Tapi manusia tumbuh dan besar dalam, cinta," begitu katanya dalam sebuah ceramah.
Cinta, di banyak waktu dan peristiwa orang selalu berbeda mengartikannya. Tak ada yang salah, tapi tak ada juga yang benar sempurna penafsirannya. Karena cinta selalu berkembang, ia seperti udara yang mengisi?ruang kosong. Cinta juga seperti air yang mengalir ke dataran yang lebih rendah.
Tapi ada satu yang bisa kita sepakati bersama tentang cinta. Bahwa cinta, akan membawa sesuatu menjadi lebih?baik, membawa kita untuk berbuat lebih sempurna. Mengajarkan pada kita betapa, besar kekuatan yang dihasilkannya. Cinta membuat dunia yang penat dan bising ini terasa indah, paling tidak bisa kita nikmati?dengan cinta.
Cinta mengajarkan pada kita, bagaimana caranya harus berlaku jujur dan berkorban, berjuang dan menerima, memberi dan mempertahankan. Bandung Bondowoso tak tanggung-tanggung membangunkan seluruh jin dari tidurnya dan menegakkan seribu candi untuk Lorojonggrang seorang. Sakuriang tak kalah dahsyatnya, diukirnya tanah menjadi sebuah telaga dengan perahu? yang megah dalam semalam demi Dayang Sumbi terkasih?yang ternyata ibu sendiri. Tajmahal yang indah di?India, di setiap jengkal marmer bangunannya terpahat?nama kekasih buah hati sang raja juga terbangun?karena?cinta. Bisa jadi, semua kisah besar dunia, berawal?dari cinta.
Cinta adalah kaki-kaki yang melangkah membangun samudera kebaikan. Cinta adalah tangan-tangan yang?merajut hamparan permadani kasih sayang. Cinta adalah?hati yang selalu berharap dan mewujudkan dunia dan?kehidupan yang lebih baik.
Dan Islam tidak saja mengagungkan cinta tapi?memberikan contoh kongkrit dalam kehidupan. Lewat?kehidupan manusia mulia, Rasulullah tercinta.













Cinta




Mereka yang tidak menyukainya menyebutnya tanggung jawab,
Mereka yang bermain dengannya, menyebutnya sebuah permainan,
Mereka yang tidak memilikinya, menyebutnya sebuah impian,
Mereka yang saling mencintai, menyebutnya takdir.
Tuhan yang mengetahui yang terbaik, akan memberi kita kesusahan untuk menguji.
Kadang Ia pun melukai hati, supaya hikmat-Nya bisa tertanam dalam.

Jika kita kehilangan cinta, maka pasti ada alasan di baliknya.
Alasan yang kadang sulit untuk dimengerti, namun kita tetap harus percaya bahwa ketika Ia mengambil sesuatu, Ia telah siap memberi yang lebih baik.
Mengapa menunggu?
Karena walaupun kita ingin mengambil satu keputusan, kita tidak ingin tergesa-gesa.
Karena walaupun kita ingin cepat-cepat, kita tidak ingin sembrono.
Jika ingin berlari, belajarlah berjalan duhulu,
Jika ingin berenang, belajarlah mengapung dahulu,
Jika ingin dicintai, belajarlah mencintai dahulu.
Pada akhirnya, lebih baik menunggu orang yang kita inginkan, ketimbang memilih apa yang ada.
Tetap lebih baik menunggu orang yang kita cintai, ketimbang memuaskan iri dengan apa yang ada. Tetap lebih baik menunggu orang yang tepat.

Karena hidup ini terlampau singkat untuk dilewatkan bersama pilihan yang salah, karena menunggu mempunyai tujuan yang mulia dan misterius.
Bunga tidak mekar dalam waktu semalam, kota Roma tidak dibangun dalam sehari.
Kehidupan dirajut dalam rahim selama sembilan bulan.
Cinta yang agung terus bertumbuh selama kehidupan.
Kebanyakan hal yang indah dalam hidup memerlukan waktu yang lama, dan penantian kita tidaklah sia-sia.
Walaupun menunggu membutuhkan banyak hal, iman, keberanian, dan pengharapan penantian menjanjikan satu hal yang tidak dapat seorangpun bayangkan.
Pada akhirnya, Tuhan dalam segala hikmat-Nya, meminta kita menunggu, karena alasan yang penting.