Kamis, 16 April 2009

Payung Hukum bagi Profesi Perawat

Kalangan perawat tetap menginginkan payung hukum dalam bentuk undang-undang untuk menjamin rekrutmen, pendidikan dan pelayanan yang berkualitas.

Pada 12 Mei 2008 lalu, depan gedung DPR RI dipenuhi belasan ribu pengunjuk rasa berseragam putih-putih. Tidak seperti biasanya dimana pengunjuk rasa adalah mahasiswa atau elemen pro-demokrasi lainnya, kali itu para pengunjuk rasa adalah para perawat. Mereka tergabung dalam Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).



Tuntutan PPNI dalam unjuk rasanya tentu tidak terkait dengan masalah kenaikan harga atau menurunkan rezim pemerintahan. Tuntutan mereka utamanya hanyalah mendesak agar pemerintah dan DPR segera meng-gol-kan RUU Keperawatan.



Perlunya perlindungan hukum, dalam bentuk undang-undang, terhadap profesi perawat adalah sebuah keniscayaan. Pandangan ini dilontarkan Dewi Irawaty, Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan UI kepada hukumonline yang ditemui dalam acara Peluncuran Progam Doktoral Ilmu Keperawatan UI di Jakarta, akhir pekan lalu.



Keberadaan profesi perawat, kata Dewi, selama ini bukannya tanpa dasar hukum. “Memang selama ini ada beberapa aturan hukum yang mengatur mengenai perawat. Tapi bukan dalam sebuah undang-undang. Paling hanya keputusan Menteri Kesehatan,” ucap Dewi.



Bagi Dewi, profesi perawat yang bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kemaslahatan umat, seharusnya diatur dalam sebuah undang-undang. “Perawat ini butuh aturan hukum yang lebih tinggi yang mengatur mengenai kualitas dan pelayanan termasuk juga sanksi bagi perawat yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.”



Hal senada diungkapkan Harif Fadhilah. Sekretaris I PPNI ini melihat adanya ketidakharmonisan dalam beberapa regulasi seputar perawat. “Dalam beberapa regulasi yang ada, terjadi ketidakharmonisan pengaturan dalam segi perekrutan, pendidikan maupun pelayanan kesehatan oleh perawat,” jelas Harif via telepon Jumat (19/9).



Saking pentingnya undang-undang ini, jelas Harif, sampai-sampai PPNI mengaku sudah memperjuangkannya sejak tahun 1989. “Walaupun konsep RUU-nya baru kami telurkan pada 1998. Hingga saat ini, kami sudah menyempurnakan RUU ini hingga 19 kali. Sekarang sedang penyempurnaan yang kedua puluh kalinya.”



Meski sudah berpuluh kali disempurnakan, pemerintah tak kunjung memprioritaskan untuk segera dibahas di Senayan. Pasca demonstrasi Mei lalu itu, PPNI memilih ‘potong kompas’. Mereka mendesak agar RUU Keperawatan dijadikan RUU inisiatif DPR. “Kami sempat senang karena Ketua DPR sudah berkirim surat ke Badan Legislatif DPR untuk memprioritaskan RUU ini ke dalam Prolegnas 2008. Sayang, hingga kini tak ada kabar gembira lagi dari gedung DPR itu,” keluh Harif.



Problem rekrutmen

Seperti ditegaskan Harif, perangkat hukum yang ada saat ini masih memicu masalah sendiri bagi dunia keperawatan. Dari segi rekrutmen misalnya. Menurut Harif, meski ada Keputusan Menkes bernomor 1239 Tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat, ternyata tidak sesuai dengan harapan.



Rekrutmen perawat, kata Harif, seharusnya melalui sebuah uji kompetensi. Praktiknya selama ini hanya melalui uji formalitas. “Selama ini hanya berdasarkan kelulusan formalitas saja dari perguruan tinggi atau akademi kesehatan. Padahal untuk melayani kesehatan masyarakat, dibutuhkan perawat yang berkualitas yang dihasilkan melalui uji kompetensi.”



Masalah mendasar yang muncul kemudian adalah lembaga yang berwenang menguji kompetensi calon perawat. “Kalau praktik di luar negeri, instansi yang berwenang menguji kompetensi adalah konsil perawat, yaitu semacam badan independen,” timpal Dewi.



PPNI dalam RUU Keperawatan memang tegas menyebut Konsil Keperawatan Indonesia sebagai suatu badan otonom yang bersifat independen. Salah satu tugas konsil ini adalah melakukan uji kompetensi dan registrasi perawat. Selain itu, Konsil juga bertugas untuk menyusun standar pendidikan dan pembinaan terhadap praktik penyelenggaraan profesi perawat.



Di Indonesia, lembaga Konsil ini dikenal dalam UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Tugasnya mirip dengan konsil yang ada dalam RUU Keperawatan. Bedanya, konsil dalam UU Praktik Kedokteran ditujukan bagi dokter umum dan dokter gigi.



Bagi Dewi, seharusnya tidak ada pembedaan perlakuan antara profesi dokter dengan perawat. Toh keduanya sama-sama melayani masyarakat dalam bidang kesehatan. “Jadi kalau di dunia kedokteran ada konsil, harusnya juga ada nursing regulatory body bagi perawat.”



Tidak Bisa Bersaing

Jika dirunut, masalah rekrutmen dan registrasi perawat bisa menimbulkan masalah lain. Salah satunya mengenai daya saing tenaga kerja perawat Indonesia dengan perawat luar negeri.



Harif menuturkan contoh ketika pada suatu waktu tenaga perawat Indonesia hanya bisa ‘dipakai’ sebagai pembantu perawat di Jepang. Sekadar ilustrasi, menurut Harif, dalam dunia keperawatan internasional dikenal empat jenjang. Paling buncit adalah jenjang pembantu perawat.



PPNI merasa riskan dengan kondisi dan kemampuan daya saing perawat Indonesia ini. Apalagi saat ini Indonesia sudah menandatangani Mutual Recognition Arrange (MRA), semacam perjanjian pertukaran perawat di antara negara-negara ASEAN. Januari 2010 nanti, MRA itu sudah resmi berlaku. “Nanti jadi apa perawat Indonesia di luar negeri?” Harif khawatir.



Ketidakprofesionalan rekrutmen dan sistem registrasi perawat juga bisa berdampak pada pelayanan kesehatan ke masyarakat. Dengan kondisi dimana sebaran dokter belum merata di seluruh Indonesia, maka perawat diharapkan bisa menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan terhadap masyarakat.



“Walaupun sebenarnya tindakan kesehatan atau medis yang diambil seorang perawat adalah tindakan yang sifatnya emergency. Nantinya perawat itu harus segera melakukan tindakan kolaboratif dengan dokter. Oleh karena itu, kami juga membekali perawat dengan mata kuliah pengobatan yang sifatnya emergency,” papar Dewi.



RUU Keperawatan lebih jauh mengatur mengenai tindakan medik terbatas yang bisa dilakukan oleh perawat yaitu sebagai jenis dan bentuk tindakan medik yang disepakati bersama dengan profesi kedokteran melalui ketetapan menteri kesehatan dan dilakukan oleh perawat professional yang kompeten dibidangnya.



Menurut Harif, pengaturan hukum mengenai kewenangan perawat mengambil tindakan medis terbatas itu mutlak diperlukan untuk melindungi perawat. “Karena ada salah satu pasal dalam UU Praktik Kedokteran yang bisa dipakai untuk menjerat perawat. Ini terbukti. Ada beberapa perawat kami di daerah yang ditangkapi polisi,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar